Memilih kenari (KN) dan cara memasternya untuk keperluan lomba di Jogja ternyata harus berbeda dengan cara memilih dan memaster KN untuk keperluan lomba di Jakarta. Kesimpulan itu saya ambil berdasar informasi yang saya serap dari para pemain KN (KN) Jakarta dan pemain KN Jogja mengenai “KN yang bagus” berdasarkan versi mereka masing-masing.
Lantas mengapa saya membedakan tren KN hanya berdasar dua tren, Jogja dan Jakarta? (tetapi saat ini lihat pula update yang saya tulis). Ini sebenarnya untuk memudahkan penyebutan saja. Kedua kota ini menjadi barometer tren KN dengan latar belakang masing-masing.
“Tren Jogja”
Jogja punya tren tersendiri dalam memaster KN karena orang Jogja (yang dimotori Papburi) “lebih mementingkan” lagu/isian. Gaya tarung atau volume memang punya poin tersendiri. Tetapi, meski KN punya volume tembus dan gaya tarung menawan, dia akan mendapat ranking nilai keseluruhan yang rendah kalau tidak punya lagu/isian yang khas (disebut “lagu standar”).
Karena itulah orang Jogja sangat getol memaster KN dengan berbagai isian. Juga, karena ingin mendapatkan KN yang bagus dalam “menyanyi”, mereka pun melakukan percobaan untuk mendapatkan KN yang keras volumenya sekaligus memiliki olah vokal sebagai KN song type (tipe penyanyi).
KN-KN dengan lagu isian bagus hanya bisa diperbandingkan jika juri benar-benar bisa mendengar secara jelas lagu masing-masing KN. Oleh karena itulah setting lomba Papburi adalah lomba non teriak.
Lantas apakah di Jogja dan kota sekitarnya tidak ada lomba KN sekaligus “lomba teriak”? Ya ada. Di sejumlah tempat masih ada lomba KN dengan aturan boleh teriak. Nah, dalam konteks tulisan ini, maka KN yang dipertandingkan di sana tidak saya masukkan sebagai “tren Jogja” tetapi malah pas untuk “tren Jakarta”.
Dengan demikian, tren Jogja yang saya maksud adalah tren KN untuk lomba ala Papburi, yang berbeda dengan “tren Jakarta” yang pada akhirnya sering disebut sebagai “tren PBI”, di mana arena lomba dipenuhi teriakan2 menggelora. Memang ada “kelas non teriak” di lomba “ala PBI”, tetapi karena lokasinya berdempetan dengan lokasi “kelas teriak”, maka di kedua arena itu suasananya sama: tidak bisa membedakan KN berdasar lagu/isiannya.
“Tren Jakarta”
Berbeda dengan di Jogja, KN yang dianggap bagus di Jakarta adalah KN-KN yang mampu “bersuara panjang”. Lagu/ isian memang mendapat poin penilaian juga. Hanya saja, meskipun KN punya lagu/isian bagus, kalau dalam membawakan relatif pendek meskipun berulang, apalagi relatif tidak tembus, maka dia tidak akan mencapai “nilai mentok” maksimal (semua juri memberi nilai 38).
“Tren Jakarta” ini bukan tercipta dengan sendirinya. Tren seperti itu “tercipta” oleh kondisi lomba yang membolehkan suporter untuk berteriak-teriak. Dalam kondisi riuh-rendah, KN yang terlihat “kerja” adalah KN yang “terus berkicau”, yang ditandai oleh terdengarnya suara si KN dan/atau ”terlihatnya gerakan paruh atau getaran gondok” di leher KN. Dalam mondisi riuh rendah, tak ada lagi perbedaan bagus-jelek di antara KN ber-lagu bagus dengan ber-lagu standar. KN bagus ala Jakarta, dengan demikian, adalah KN yang terus “terlihat” bernyanyi (tak peduli lagu apa yang dinyanyikan).
“Tren Jakarta” inilah yang sekarang merupakan tren umum “KN yang bagus” di berbagai kota.
Tren kacau ala Solo
Untuk Solo sendiri bagaimana? Saya lihat, di kota ini berkembang dua tren tersebut secara bersamaan. Pada satu sisi ada penggemar yang suka KN dengan isian/lagu bagus dan lebih suka terjun di lomba Papburi Solo. Namun yang terbanyak tetap penggemar KN untuk lomba-lomba “ala PBI”.
Kacaunya, banyak penghobi KN yang memaster burung mereka tanpa tahu maksud dan tujuan pemasteran tersebut. Hanya karena orang lain memaster KN dengan blackthroat (BT) dia ikut-ikutan. Ada yang memaster dengan ciblek, dia pun ikut-ikutan. Begitu seterusnya. Padahal, KN itu sendiri memiliki lagu yang pada dasarya bagus; indah mengalun, naik turun dengan warna suara yang variatif.
Jujur saja, saya misalnya, lebih suka suara KN standar ketimbang suara ciblek atau gelatik wingko. Tetapi kalau sudah berbicara soal “bisnis”, lomba,atau harga, maka saya pasti lebih senang punya KN yang punya lagu full ciblek atau full BT, tidak ada lagu KNnya sama sekali. Mengapa? Pasti, KN macam ini akan laku dengan harga tinggi di arena Papburi misalnya.
Bagaimana dengan Anda? Kalau Anda masih kacau seperti saya, maka Anda termasuk dalam “tren kacau” ala Solo, hehehehe.
Memilih KN berdasar tujuan
Berdasar paparan di atas, sampailah kita pada pertanyaan bagaimana memilih KN yang bagus? Nah untuk memilih KN, tentunya berdasar tujuan kita. Kalau kita pengin mencetak KN tren Jakarta, tidak perlu mencari KN type penyanyi (song type), cukup yang suaranya lantang dan panjang. Sedangkan untuk tren Jogja, kita perlu memilih KN tipe penyanyi. Apa itu KN tipe penyanyi dan non-penyanyi? Untuk masalah ini, kali lain akan saya bahas.
Memaster KN berdasar tujuan
Setelah kita memilih KN berdasar tujuan, maka kita perlu berbicara mengenai masteran untuk KN berdasar tujuan. Kalau kita pengin KN “tren Jakarta”, maka cukuplah KN dimaster dengan ciblek. Nggak perlu dimaster dengan beragam isian yang lagunya cenderung “nekak-nekuk” semacam lagu BT atau sanger. KN akan “gemrobyos bin berkeringat” untuk membawakan lagu BT.
Itulah mengapa KN yang dimaster suara-suara tekukan pendek tajam ala BT mudah “ngglender” kalau tidak ditempel masterannya terus-menerus. Sebenarnya isian KN itu tidak hilang, cuma KN malas membawakannya karena “berat” dan relatif tidak cocok dengan karakter suara dia.
KN dengan masteran nekak-nekuk ala BT, cenderung akan banyak “ngetem” (diam nggak bunyi) ketika ditrek bareng dengan banyak KN lain. Suara BT tidak cocok dibawakan oleh KN yang berada dalam kondisi sangat emosional seperti itu. Apalagi kalau KN itu berkarakter galak/ganas kepada KN lain, maka alih-alih menyelesaikan lagu BT, dia malah nabrak-nabrak sangkar mau mengejar musuh. “Keganasan” itu akan bertambah-tambah jika ditingkahi oleh suara teriakan suporter macam di arena lomba.
Pada saat KN “ngetem”, dia “merekam suara” yang menurut dia “aku banget”. Maka waspadalah setelah itu, kalau tidak lagi ditempel ketat dengan BT, apalagi umurnya masih muda, maka dia akan “kehilangan” suara BT-nya dan jadilah lagunya “ngglender” kembali ke suara “standar”.
Jika KN diisi dengan lagu yang “tidak berat” dan hanya berupa tonjolan-tonjolan tertentu (suara satu-satu ciblek, atau suara ciblek yang “ngebren” misalnya), maka dia akan fasih dalam membawakannya karena tidak harus mengeluarkan “lagu berat”. Dengan demikian, napas dia pun akan panjang dan tidak terpurtus-putus.
Kebalikan dari hal di atas, jika kita pengin punya KN “tren Jogja”, maka isilah dengan lagu non-KN. Apapun. Semakin unik, semakin tinggi nilainya. Beberapa waktu berselang, BT atau sanger menjadi isian favorit tren Jogja. Tetapi karena semuanya bergerak ke isian BT atau sanger, maka KN dengan isian BT atau sanger sudah menjadi “barang biasa”. Karena itulah, para pemain Jogja mulau mencari alternatif lagu isian yang lain. Apa itu? Ya, tentunya itu merupakan rahasia masing-masing pemain, yang akan segera ketahun dalam beberapa waktu mendatang di arena lomba.
Isian KN perpaduan Jogja-Jakarta
Sampailah kini kita mempertanyakan, lagu/ isian apakah yang cocok dimasterkan ke KN sehingga bisa masuk untuk “tren Jogja” maupun “tren Jakarta” untuk saat ini? Saya belum bisa menjawab pertanyaan itu karena saya “masih hunting” untuk mendapatkan jawabannya.
Ada sementara orang mengatakan bahwa lagu/suara Goldfinch (GF) sangat cocok untuk tujuan itu (untuk melihat gambar-gambar GF, bisa klik di sini). Alasannya, tekukan lagu GF terdengar indah tetapi tidak akan berat jika harus dibawakan KN dan karenanya KN pun bisa membawakannya dengan alunan tinggi-rendah dalam rentang waktu yang relatif panjang. Apakah benar demikian?